Hujan

Padi-padi menguning hilang seketika dari hamparan pemandangan hari-hariku dikala pagi, sama dengan rawa-rawa yang penuh berisi ikan-ikan tawar yang selalu mengundangku memancingnya, begitupun dengan teratai yang turut mewarnai kaki bukit, mekarnya selalu menarikku untuk berlama-lama menghirup semerbak aroma ketenangan yang ia tebarkan. Mereka semua tertimbun dalam tanah-tanah yang dibawa oleh orang berduit itu, kerasnya cengkraman kuku-kuku kapitalisme memang kejam, ia bahkan tidak memiliki perasaan pada anak-anak seperti kami yang masih ingin bermain dalam miniatur desa yang masih asri. Bahkan mereka tidak pernah berfikir bagaimana lelahnya kami meninggikan rumah agar tidak tersentuh banjir.

Hujan, hujan kembali menyapa dengan tetesan airnya. Di tanah mengalir doa namun tak sedikit tercemari oleh umpatan-umpatan orang yang tak paham bahwa hujan itu rahmat. Apapun itu, alirnya akan berevaporasi menembus langit ketujuh hingga terdengar oleh penghuni langit. Jadi jangan sembangan mengeluh ketika berkah itu diturunkan. Seperti keluhan bahwa hujan sama dengan banjir. Bukan salah hujannya, salah sistem yang tidak mengatur aliran air hingga menciptakan genangan mengendapkan lumpur atau mungkin lebih spesifiknya salah manusia sendiri, menimbun seenaknya dan buang sampa sembarangan semau-maunya. 

Bagaimanapun, hujan adalah karunia walau hadirnya membawa sahabatnya bernama dingin, sensasinya menembus sampai ketulang-tulang. Namun tak jarang ia juga mengajak kawannya yang bernama rindu dan kenangan. Ada banyak rindu yang ia bawa ketika ia bertamu ke wilayahku. Pernah suatu ketika, hujan tak berhenti mengadirkan tetesan air yang begitu tajam. Datangnya diiringi padamnya lampu berhari-hari. Namun apakah itu menyiksaku? Tidak, karenanya aku mendapatkan kehangatan dari seorang malaikat yang Tuhan karuniakan kepadaku, kehangatan pelukan, merasa amannya karena perlindungan dan ketenangan. Semua itu adalah kenangan yang kini tak lagi kudapatkan. Tinggal kedinginan dan rindu yang tersisa. Hei! Aku tidak akan membicarakan ini lagi, aku hanya ingin menangis jika mengingatnya, namun biarkanlah tangis ini diselipkan doa dalamnya agar ia tersenyum di alam sana.

Hujan kembali menebarkan aroma basahnya, bercampur dengan pucuk-pucuk dedaunan hijau yang wangi. Aku suka aroma itu antara magrib dan isya. Lagi-lagi hujan bukan hanya membawa kawannya yang bernama kelembapan, ia juga mengajak air mata mengiringinya. Ada saja lagu-lagu hujan. Namun kali ini hujan berjatuhan begitu lembut, namun begitu hadirnya tidak perlu kusambut dengan berlebihan, karena hadirnya kadang tidak cocok untukku. Karena sekarang aku sakit.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar